Banyuwangi, BeritaTKP.com – Kelangkaan minyak goreng yang terjadi di Negara Republik Indonesia sejak beberapa waktu terakhir menjadi berbincangan Rakyat, dengan berbagai pertanyaan penuh tanda tanya, sedangkan Indonesia merupakan penghasil Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia.Rabu 18/03/2022.

Ketum Aliansi Solidaritas Negara Indonesia ( SNI ) Raden Teguh Firmansya. Turut bersuara. “Saya menilai kondisi kelangkaan minyak goreng yang terjadi saat ini merupakan sebuah ironi dan membuktikan ketidak mampuan pemerintah, terlalu berlarut-larutnya permasalahan ini membuktikan bukan saja betapa buruk dan lambatnya penanganan pemerintah, tapi juga cermin ketidakpekaan terhadap kesulitan masyarakat yang telah tercekik di tengah krisis pandemi,”ucapnya Raden Teguh Firmansyah.

Masih Kata Ketum Aliansi SNI Raden Teguh Firmansyah.  “Terkait kondisi kelangkaan ini, pemerintah tentu memiliki segudang alasan, mulai dari naiknya harga CPO di pasar global hingga meningkatnya lonjakan kebutuhan CPO, namun persoalan tersebut dianggap sebagai problem klise yang sebenarnya sudah dapat diprediksi, karena tak adanya langkah antisipatif yang tepat, kondisi semakin amburadul, Masyarakatlah yang harus menanggung kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng,” jelasnya.

Lanjut Ketum SNI.  “Sejumlah upaya memang telah dilakukan pemerintah, mulai dari subsidi harga minyak goreng, hingga ke pembatasan keran ekspor melalui Domestic Market Obligation (DMO) dan penerapan Domestic Price Obligation (DPO), namun, kebijakan ini justru kian membuat stok minyak goreng di pasaran semakin terbatas, bahkan langka, kebijakan subsidi harga yang diterapkan pada kenyataannya gagal karena tak tepat sasaran, konsumsi minyak goreng rumah tangga 61% nya adalah minyak curah, tapi kebijakan yang dilakukan justru subsidi pada minyak kemasan, artinya kebijakan yang diambil tak nyambung,” ungkapnya.

Kondisi tersebut, menandakan kebijakan hulu dan hilir yang diterapkan pemerintah tak efektif mengatasi problem kelangkaan minyak goreng, namun yang terjadi adalah alokasinya tidak terserap optimal untuk produksi minyak goreng, tetapi justru untuk bahan baku biodiesel yang harga jualnya mendapat subsidi sebesar US$85/ton dari Badan Pengelola dana perkebunan kelapa Sawit (BPDPKS),

“Sementara untuk bahan baku minyak goreng, produsen CPO harus menjualnya dengan harga domestik, karena tidak adanya subsidi dari BPDPKS, disinilah persoalannya,”tutur Raden Teguh Firmansyah.

“Saya berharap, pemerintah berikanlah kemudahan masyarakat masalah pangan, apalagi di tengah pandemi yang masih ada dan entah kapan berakhir, janganlah karena terjamin hidup dari sebuah derajat dan pangkat, tangisan hati masyarakat menjadi korban permasalahan dan aturan yang tidak nyambung, yang seharusnya bukan menjadi kesusahan masyarakat.”tutup Ketum Aliansi Solidaritas Negara Indonesia. (Limbat)