Kab Malang,BeritaTKP.com — Aroma tak sedap tercium dari balik kemeriahan All In Gampingan Carnival di Desa Gampingan, Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang. Seorang oknum wartawan berinisial D diduga kuat telah mencoreng nama baik profesi jurnalis dan bahkan mencatut institusi Polres Malang demi kepentingan pribadi.
Informasi yang dihimpun dari sejumlah sumber menyebutkan, D disebut telah menerima uang sebesar Rp20 juta dari panitia penyelenggara dengan dalih bahwa dana tersebut akan dibagikan kepada “rekan-rekan media” yang melakukan peliputan kegiatan pesta rakyat tersebut. Namun, pasca acara berakhir, banyak jurnalis yang merasa kecewa dan mengeluh karena tidak mendapatkan “imbalan liputan” sebagaimana dijanjikan.
“Kami ini datang meliput secara profesional, tapi justru nama kami dipakai untuk mencari keuntungan pribadi oleh orang yang ngakunya wartawan senior dan dekat dengan aparat. Setelah acara selesai, kami tidak menerima sepeser pun,” keluh salah satu jurnalis yang enggan disebut namanya.
Fenomena ini kemudian menjadi perbincangan hangat di kalangan awak media lokal. Banyak yang menilai, tindakan D tidak hanya melanggar etika profesi, tetapi juga berpotensi menyeretnya ke ranah hukum jika terbukti mencatut nama institusi kepolisian untuk kepentingan pribadi.
Dari perspektif hukum, tindakan seperti yang dilakukan oleh D dapat dikategorikan sebagai pencatutan nama institusi negara sekaligus tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda, maka karena penipuan itu dihukum penjara paling lama empat tahun.”
Selain itu, pencatutan nama institusi kepolisian dapat dianggap sebagai tindakan pemalsuan keterangan atau penyalahgunaan wewenang palsu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 310 dan 311 KUHP, terutama bila pernyataannya merugikan nama baik Polres Malang atau merusak reputasi lembaga negara.
Apabila benar terbukti bahwa D mengaku membawa nama Polres Malang untuk memperoleh uang dari panitia, maka pihak kepolisian memiliki dasar hukum untuk menindak melalui jalur pidana, demi menjaga marwah institusi.
Dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Dewan Pers Pasal 6, disebutkan bahwa:
“Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.”
Artinya, jurnalis dilarang menjadikan profesinya sebagai alat untuk mencari keuntungan pribadi atau menekan pihak tertentu. Jika benar D menerima uang dengan dalih pembagian liputan tanpa mekanisme resmi, maka hal ini termasuk pelanggaran etik berat yang mencoreng nama baik profesi wartawan.
Kasus ini seharusnya menjadi pelajaran bagi seluruh insan pers, terutama di daerah. Berikut beberapa langkah solusi yang bisa dilakukan:
– Pelaporan ke Dewan Pers atau organisasi profesi seperti PWI, AJI, atau IJTI agar dilakukan penelusuran dan klarifikasi terhadap dugaan penyalahgunaan profesi.
– Koordinasi langsung dengan Polres Malang, guna memastikan bahwa tidak ada pihak yang mengatasnamakan lembaga kepolisian dalam kegiatan publik tanpa izin resmi.
– Transparansi antara panitia dan media, dengan sistem peliputan berbasis undangan resmi atau kerja sama publikasi yang jelas, bukan melalui perorangan.
– Menjaga independensi dalam setiap kegiatan peliputan. Wartawan sejati bekerja untuk publik, bukan untuk “amplop”.
– Bagi rekan-rekan media yang dirugikan, dapat membuat surat keberatan atau pengaduan resmi agar ada efek jera dan perbaikan ke depan.
Kasus dugaan penyalahgunaan profesi oleh oknum D ini seharusnya menjadi alarm moral bagi dunia jurnalistik di Malang Raya. Wartawan adalah penjaga nurani publik, bukan pedagang informasi. Bila kebenaran dijual dengan harga amplop, maka kepercayaan masyarakat terhadap media akan terus terkikis.
Profesi jurnalis adalah profesi kehormatan dan kehormatan itu tak bisa dibeli dengan uang 20 juta rupiah.(Reagan/Imam)





