Nganjuk, BeritaTKP.com – Proses penerbitan KTP bagi Ibu Supinah, warga Kabupaten Nganjuk, kembali menuai polemik. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Nganjuk disebut mempersyaratkan adanya penetapan pengadilan untuk menyatukan NIK ganda dan mengubah nama dari “Kartini” menjadi “Supinah”.
Padahal, menurut sejumlah pemerhati layanan publik, kasus ini murni kesalahan administratif karena data biometrik milik Supinah sebelumnya tercatat atas nama “Kartini” saat perekaman di lapangan, dan nama “Supinah” sebenarnya sudah tercantum di dokumen resmi surat kelahiran, surat nikah dan KK.

Ketua DPC LSM Forum Aspirasi dan Advokasi Masyarakat (FAAM) Nganjuk, Achmad Ulinuha, menilai kebijakan meminta penetapan pengadilan untuk kasus seperti ini justru memperumit warga dan bertentangan dengan semangat pelayanan publik.

“Ini bukan kasus perubahan nama karena keinginan pribadi, tapi perbaikan akibat kesalahan input di masa lalu. Undang-undang Adminduk sudah jelas: pemadanan biometrik dan penghapusan NIK ganda bisa dilakukan Disdukcapil tanpa pengadilan. Meminta penetapan pengadilan sama saja memindahkan beban ke warga,” tegasnya.

Ulinuha menyebut, proses penetapan pengadilan tidak hanya memakan waktu lama, tetapi juga menguras biaya.

“Warga harus mengeluarkan biaya perkara, transportasi, dan waktu yang seharusnya tidak perlu. Ini membuktikan bahwa pelayanan belum berpihak penuh kepada masyarakat,” tambahnya.

Merujuk Pasal 84 UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, pejabat yang menghambat pelayanan administrasi kependudukan dapat dikenai sanksi pidana penjara hingga 2 tahun atau denda maksimal Rp25 juta.

Selain itu, Permendagri Nomor 109 Tahun 2019 mengatur bahwa perubahan elemen data akibat kesalahan administrasi cukup dilakukan melalui verifikasi dokumen dan pemadanan biometrik oleh Disdukcapil, tanpa penetapan pengadilan jika dokumen dasar sudah jelas.
Sementara itu, Ibu Supinah mengaku lelah harus bolak-balik mengurus dokumen.

“Saya hanya ingin KTP saya jadi, sesuai nama panggilan saya dan sesuai surat nikah dan dikumen lain. Tapi sekarang malah disuruh ke pengadilan. Saya bingung harus bagaimana,” ucapnya.

Kasus ini menjadi catatan bahwa pelayanan administrasi kependudukan di daerah perlu dievaluasi, agar masyarakat tidak menjadi korban rumitnya birokrasi. (Widi)