DIBAKAR: Ilustrasi pembakaran sampah, yang jadi salah satu penyebab merosotnya nilai IKLH di Kota Batu.

MALANG,BeritaTKP.com – Tahun ini, wajah Kota Batu di peta Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) nasional berubah drastis. Data Kementerian Lingkungan Hidup mencatat, peringkat Kota Batu terjun bebas dari posisi ke-7 nasional pada 2023, merosot ke urutan 131 pada 2024.

Lonjakan penurunan itu membuat Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Batu tak mau tinggal diam.Kepala DLH Kota Batu, Dian Fachroni, tak menampik bahwa capaian ini jadi tamparan keras.

Menurutnya, ada sejumlah faktor yang menjadi biang kerok. Mulai dari pengelolaan sampah yang belum optimal hingga maraknya pembakaran sampah di seluruh desa dan kelurahan.

“Faktor utamanya karena pengelolaan sampah yang belum optimal dan banyaknya pembakaran sampah anorganik maupun residu di seluruh desa/kelurahan di Kota Batu,” ungkap Dian, Senin (12/8/2025)

Ia membeberkan, praktik pembakaran yang terjadi hampir di 24 desa dan kelurahan itu melepaskan asap sarat bahan kimia yang mencemari udara. “Asapnya itu bukan hanya bau, tapi membawa partikel berbahaya yang langsung menurunkan kualitas udara,” tambahnya.

Melihat hal itu, DLH langsung memetakan masalah dan menyusun strategi.Salah satunya membangun big komposter berkapasitas 4 ton per hari untuk menyelesaikan sampah organik di 21 ruas jalan protokol. Sistemnya swakelola tipe 1, di mana dinas membeli material dan membayar tukang secara langsung.

Selain itu, rumah kompos berbasis dusun akan dibangun untuk melayani 750 hingga 1.000 kepala keluarga per titik.Nantinya, pengelolaan akan diserahkan kepada kelompok masyarakat yang ditunjuk oleh kepala desa atau lurah melalui skema swakelola tipe 4.

“Kami libatkan masyarakat langsung.Jadi selain mengurangi sampah organik, ini juga membangun rasa memiliki dan tanggung jawab bersama,” kata Dian.

Menurut Dian, hasil evaluasi menunjukkan penggunaan incinerator yang tidak standar menjadi salah satu penyebab turunnya kualitas udara.

“Kami mengidentifikasi, selain karena padatnya kunjungan wisatawan, turunnya indeks kualitas udara juga diproduksi oleh tungku-tungku incinerator yang tidak standar,” ujarnya.

Incinerator, lanjut Dian, memang mampu mengurangi volume sampah dengan cepat, tapi efek sampingnya tidak main-main. Karena itu, saat ini pihaknya fokus pada aktivasi pengolahan sampah organik. Dengan itu, dua indeks bisa dikejar. Yakni indeks kualitas lingkungan hidup dan indeks pengelolaan persampahan.

Ke depan, Kota Batu membutuhkan setidaknya 60 rumah kompos untuk mengelola sampah organik di tingkat dusun. Saat ini, anggaran untuk membangun 20 unit sudah tersedia. Mekanisme pembangunannya menggunakan belanja modal, mengingat rumah kompos tersebut akan menjadi aset pemerintah kota.

“Pelaksanaannya tetap melibatkan Kelompok Masyarakat (Pokmas) yang ditunjuk kepala desa. Jadi pemerintah sediakan fasilitasnya, warga yang kelola,” papar Dian.

Dengan strategi ini, DLH berharap tren anjloknya IKLH Batu bisa diputus pada 2025. Harapannya, Kota Batu kembali masuk jajaran atas kota-kota dengan kualitas lingkungan hidup terbaik di Indonesia. (Red/Imam)